Di tengah arus globalisasi yang semakin deras, masyarakat Nusantara, khususnya suku Jawa, tidak lepas dari fenomena ketertarikan terhadap simbol-simbol spiritual yang berasal dari luar negeri. Ketertarikan ini tidak terbatas pada aspek budaya, namun merambah hingga ranah spiritual, di mana praktik ziarah ke makam-makam keramat dari para tokoh Timur Tengah atau Asia Selatan menjadi fenomena yang jamak ditemukan. Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah ini sekadar bentuk penghormatan spiritual, atau justru ada indikasi eksploitasi yang terselubung?
Jika ditarik ke masa lalu, Nusantara pernah mengalami era kolonialisme yang panjang oleh bangsa Eropa. Ketika itu, masyarakat dengan mudah terkesima oleh kemegahan dan kemajuan bangsa asing, yang pada akhirnya berujung pada eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan manusianya. Pola ketertarikan ini seolah berlanjut di masa kini, di mana sebagian masyarakat masih menunjukkan kekaguman berlebih terhadap budaya dan simbol spiritual asing.
Kedatangan para tokoh spiritual dari Timur Tengah atau Asia Selatan, dengan gelar-gelar yang dianggap “suci” oleh sebagian masyarakat, kerap kali diiringi oleh praktik ziarah, donasi, hingga ritual tertentu. Tidak sedikit yang rela mengeluarkan sejumlah uang untuk sekadar berziarah ke makam yang dianggap memiliki karomah atau berkah. Praktik semacam ini kemudian dilihat oleh sebagian pihak sebagai bentuk eksploitasi ekonomi terselubung yang memanfaatkan keyakinan masyarakat.
Antara Kepercayaan dan Eksploitasi
Di satu sisi, kepercayaan terhadap simbol spiritual adalah bagian dari hak individu dalam menjalankan keyakinannya. Masyarakat yang berziarah ke makam keramat atau menghormati tokoh spiritual melakukannya dengan landasan iman dan penghormatan. Namun di sisi lain, fenomena ini sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk meraup keuntungan finansial, mengemas ritual keagamaan menjadi sebuah “komoditas” spiritual.
Eksploitasi ini bisa terjadi secara halus, melalui ajakan donasi besar-besaran, biaya ziarah yang tidak sedikit, hingga penjualan atribut atau suvenir yang berbau spiritual. Hal ini tidak lepas dari anggapan bahwa masyarakat lokal mudah terkesima oleh simbol-simbol asing yang dianggap membawa keberkahan.
Minder akan Keunggulan Asing?
Salah satu argumen yang muncul dalam diskursus ini adalah bahwa masyarakat kita masih memiliki rasa minder terhadap bangsa luar. Ketertarikan yang berlebihan terhadap simbol spiritual dari luar dianggap sebagai bentuk rendahnya kepercayaan diri terhadap kearifan lokal. Padahal, sejarah mencatat bahwa Nusantara memiliki tradisi spiritual yang kuat dan kaya akan nilai-nilai luhur.
Pendidikan atau Logika Kritis?
Solusi yang ditawarkan beberapa kalangan adalah pentingnya membangun logika kritis dalam masyarakat. Pendidikan formal dianggap belum cukup untuk menumbuhkan kesadaran dalam menyaring praktik spiritual yang benar-benar murni dari eksploitasi ekonomi. Logika kritis diperlukan agar masyarakat mampu membedakan mana yang betul-betul bagian dari keyakinan dan mana yang sekadar komoditas.
Ketertarikan terhadap simbol spiritual luar negeri tidak sepenuhnya salah, karena itu bagian dari kepercayaan yang diakui. Namun, penting bagi masyarakat untuk menyadari potensi eksploitasi di balik praktik tersebut. Menjaga logika kritis dan memperkaya wawasan budaya lokal bisa menjadi langkah awal untuk menghindari praktik-praktik yang merugikan secara ekonomi dan spiritual.